Kamis, 02 Februari 2012

Pembiyaan Kesehatan dalam Era Desentralisasi Kesehatan Masyarakat


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks dan sulit didefinisikan secara tegas. Definisinya bersifat kontekstual karena tergantung pada konteks historis, institusional serta politis di masing-masing negara. Namun, secara umum desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan tanggung jawab dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pembangkitan serta pemanfaatan sumber daya dan kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke: 1) unit-unit teritorial dari pemerintah pusat atau kementerian, 2) tingkat pemerintahan yang lebih rendah, 3) organisasi semi otonom, 4) badan otoritas regional, 5) organisasi non pemerintah atau organisasi yang bersifat sukarela (Rondinelli 1983 cit Omar, 2001). Mills, dkk menyebutkan bahwa secara umum desentralisasi merupakan transfer kewenangan dan kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang tinggi ke tingkat yang lebih rendah dalam satu hierarki politis administratif atau teritorial.
Desentralisasi kesehatan di Indonesia dilaksanakan sejak awal tahun 2001 dan merupakan konsekuensi dari desentralisasi secara politik yang menjadi inti Undang-Undang (UU) No.22/1999. Di berbagai negara, kebijakan tentang desentralisasi kesehatan telah dilaksanakan selama dua dekade terakhir. Uganda, Filipina, dan Vietnam adalah negara–negara lain yang telah lama melaksanakan desentralisasi.
 Salah satu hal penting dalam desentralisasi di Indonesia di tahun 1999 adalah desentralisasi fiskal. Secara teori, desentralisasi fiskal adalah pemindahan kekuasaan untuk mengumpulkan dan mengelola sumber daya finansial dan fiskal.6 Desentralisasi fiskal dapat dijadikan sebagai indikator mengenai berjalannya kebijakan desentralisasi. Sejarah telah mencatat bahwa pada akhir tahun 1970-an, Indonesia melakukan desentralisasi di bidang kesehatan namun tidak disertai dengan desentralisasi fiskal. Akibatnya tidak terjadi pemindahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah. Bagian ini mengkaji apakah kebijakan desentralisasi fiskal berjalan, dan berusaha memahami prospek pembangunan kesehatan dalam era desentralisasi.
B.   Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pembiayaan kesehatan dalam era desentralisasi kesehatan masyarakat.
2.    Untuk mengetahui reposisi pembiayaan kesehatan dalam era desentralisasi.
3.    Untuk mengetahui situasi pendanaan, penganggaran, proses alokasi anggaran.

C.   Manfaat Penulisan
Memberikan informasi kepada pembaca tentang bagaimana pembiayaan kesehatan dalam era desentralisasi kesehatan masyarakat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 2.1 Desentralisasi dan Kegagalan Menutup Kesenjangan Fiskal
Salah satu hal menarik sebagai dampak desentralisasi adalah perbedaan kemampuan fiskal yang semakin besar antar propinsi dan kabupaten/kota. Dengan adanya dana bagi hasil maka ada propinsi dan kabupaten/kota yang mendadak menjadi kaya dalam waktu sekejap. Beberapa daerah mempunyai APBD sekitar 2 triliun rupiah dengan penduduk yang tidak mencapai 500.000 orang. Namun yang menarik, di sektor kesehatan setelah beberapa tahun kemudian terjadi situasi bahwa ada kekecewaan secara nasional terhadap proses desentralisasi. Kekecewaan ini dapat dipahami karena memang dana kesehatan dari DAU dan APBD ternyata jumlahnya tidak cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan. Keadaan ini juga terjadi di daerah kaya yang sebenarnya harus memberikan lebih banyak untuk pelayanan kesehatan. Sektor kesehatan kekurangan dana, sehingga menyebabkan berbagai sistem menjadi terganggu dan kehilangan koordinasi dibandingkan sebelum desentralisasi. Departemen Kesehatan melihat hal ini sebagai suatu hal yang membahayakan kelangsungan sistem kesehatan. Dengan itikad baik, maka dilakukan peningkatan pembiayaan dari pusat. Kesan yang mencolok terjadi peningkatan dana kesehatan dari pemerintah pusat. Sebagai fakta, terjadi kenaikan dana dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sektor kesehatan. Dipandang dari jumlah, bagi sektor kesehatan merupakan hal yang positif namun dari aspek penyaluran dan ketepatan sasaran penganggaran masih memerlukan kajian lebih lanjut. Di samping itu, ada hal yang perlu dicatat bahwa mekanisme dana dekonsentrasi menurut UU No.33/2004 Pasal 108 haruslah dikurangi dan harus diubah menjadi DAK atau Dana Tugas Pembantuan. Pada praktiknya memang penggunaan model dana dekonsentrasi sebagai cara penyaluran ke daerah ini dapat berakibat negatif karena mempunyai banyak kesulitan teknis dalam perencanaan dan penyerapan. Penyerapan dana rendah pada tahun 2006 merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh anggaran pemerintah pusat. Sementara itu, tahun 2007 terjadi apa yang disebut sebagai masalah lainnya di anggaran pemerintah pusat akibat pemotongan berbagai program pemerintah pusat. Keadaan ini terjadi pula di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2008 yang sampai bulan April belum ada kepastian. Masalah besar lain adalah kekurangan dana untuk pelayanan keluarga miskin (gakin). Kasus belum dibayarnya Askeskin untuk rumah sakit dalam tahun anggaran 2007 menunjukkan rendahnya kemampuan fiskal pemerintah pusat yang tertekan oleh kenaikan harga minyak. Peningkatan dana dari pemerintah pusat ini disertai dengan wewenang memutuskan untuk menggunakan dana yang besar oleh pemerintah pusat. Wewenang ini semakin besar  dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan atau dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat pada beberapa tahun belakangan ini. Akibatnya terjadi suatu sentralisasi sistem kesehatan karena aspek keuangan. mempengaruhi kegiatan di lapangan. Di samping kenyataan dalam pendanaan sektor kesehatan, berbagai pernyataan pimpinan Departemen Kesehatan menyiratkan keinginan untuk resentralisasi. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2004-2007 ini terjadi semacam kebingungan mengenai arah pengembangan sistem kesehatan di Indonesia: apakah akan resentralisasi ataukah meneruskan desentralisasi. Secara hukum sektor kesehatan merupakan sektor yang terdesentralisasi. Namun secara praktis, mekanisme penyaluran anggaran kesehatan mengarah ke sentralisasi. Hal ini merupakan paradoks yang perlu diperhatikan. Paradoks yang ada dapat ditelusuri dari sejarah desentralisasi kesehatan di Indonesia. Pengalaman Indonesia dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi kesehatan tahun 2000-2007 dapat direfleksikan sebagai berikut. Ada suatu proses yang berjalan secara mendadak (Big Bang) pada tahun 1999 seperti yang sudah disampaikan pada pengantar buku ini. Kebijakan yang mendadak tanpa diikuti oleh peraturan teknis yang baik.
2.2 Reposisi Peran Pemerintah Pusat dalam Hal Pembiayaan Kesehatan
Salah satu hal penting yang menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat dalam menerapkan desentralisasi adalah dalam pembiayaan kesehatan. Reposisi pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu indikator kesungguhan pemerintah pusat dalam menerapkan desentralisasi. Dalam draf dokumen dari Departemen Kesehatan dinyatakan bahwa masih banyak masalah dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Masalah pertama adalah belum sinkronnya antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta pelaksanaan. Dalam hubungannya dengan sektor lain terdapat lemahnya sinergisme dalam penyusunan kegiatan lintas program. Di samping itu, ada penggunaan indikator yang tidak konsisten. Dalam konteks desentralisasi, terdapat gejala belum sinkronnya perencanaan pusat dan daerah. Di dalam lingkup proses perencanaan disadari kesulitan untuk merubah mindset dari ”project oriented” atau ”budget oriented” kepada ”performance based-budgeting”. Faktor lain adalah terbatasnya SDM yang dapat menunjang upaya perencanaan pembangunan kesehatan, serta tidak lancarnya pelaporan kegiatan dan pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu perencanaan pembangunan kesehatan.
Dalam konteks permasalahan-permasalahan tersebut, menarik untuk dicermati berbagai fakta yang terjadi antara lain perkembangan anggaran kesehatan oleh pemerintah pusat dan perkembangan anggaran kesehatan oleh daerah. Data yang dipergunakan dalam deskripsi ini adalah anggaran kesehatan nasional (pemerintah) dari sebelum desentralisasi sampai setelah desentralisasi, dengan penekanan detail data mulai tahun 1999-2007. Data yang digunakan merupakan kompilasi dari beberapa data anggaran kesehatan APBN-Departemen Kesehatan, World Bank, World Health Organization atau WHO dan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada/PMPK FK-UGM (National Health Account, dan Public Health Expenditure Review, bekerja sama dengan WHO Indonesia dan IPS Srilanka). Di samping itu, ada data Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dari proyek DHS-1.
2.3 Situasi Pendanaan dari Pemerintah Pusat
Pada awal desentralisasi, terlihat kecenderungan desentralisasi yang sangat kuat. Penurunan anggaran pemerintah pusat sementara anggaran pemerintah propinsi dan kabupaten meningkat. Pada tahun-tahun awal memang terjadi realokasi yaitu ada dana pemerintah pusat menjadi APBD yang tentunya meningkatkan jumlah anggaran kesehatan secara absolut. Akan tetapi, DAU dan dana-dana dari APBD ternyata tidak cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan. Keadaan ini menyebabkan sistem kesehatan menjadi sulit digerakkan. Pemda terlihat gagal memberikan pendanaan untuk sektor kesehatan di daerahnya. Pada tahun 2004 ke depan, Departemen Kesehatan melihat perlu ada pendanaan lebih banyak dari pemerintah pusat. Keputusan ini menarik dan dapat dipahami karena memang diperlukan untuk memperbaiki sistem kesehatan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya dana pemerintah pusat, khususnya untuk Askeskin dan kesehatan keluarga. Sejak tahun 2004 terjadi peningkatan dana kesehatan dari pemerintah pusat. Sebagian dana pemerintah pusat disalurkan ke pemda melalui dana dekonsentrasi. Pada praktiknya penggunaan model dana dekonsentrasi sebagai cara penyaluran ke daerah dapat berakibat negatif. Ada kesulitan untuk mencapai sasaran yang direncanakan. Berdasarkan mekanisme, dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat sampai ke propinsi. Dari level propinsi, dana akan diteruskan ke kabupaten/kota atau ke kegiatan-kegiatan. Penyaluran ini sering mempunyai masalah antara lain: sempitnya waktu untuk membelanjakan dan melaporkan, kekurangsiapan Pemegang Uang Muka Cabang (PUMC), dan berbagai sebab lain, akibatnya terjadi penyerapan dana yang rendah.
Penyerapan dana rendah pada tahun 2006 merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh anggaran pemerintah pusat. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan terlihat bahwa tidak ada yang dapat menyerap dana lebih dari 95%. Propinsi Irian Jaya Barat hanya bisa menyerap sebesar 46,3%. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai daerah yang berada di pemerintah pusat hanya menyerap 52,5%. Kalimantan Timur menyerap 62,4%. Sulawesi Utara menyerap paling tinggi sebesar 94,8%, disusul oleh Jawa Timur sebesar 91,9%. Sementara itu, tahun 2007 terjadi apa yang disebut sebagai masalah besar anggaran pemerintah pusat akibat pemotongan berbagai program pemerintah pusat. Pemotongan ini disebabkan berbagai faktor yang kompleks. Salah satu masalah besar adalah kekurangan dana untuk pelayanan gakin. Dikhawatirkan penyerapan anggaran kesehatan pemerintah pusat masih belum membaik. Problem di tahun 2007 terulang di tahun 2008. Akibat tekanan harga minyak, pemerintah pusat kesulitan untuk merealisasikan APBN. Sampai pada bulan April 2008 terjadi stagnasi mekanisme penyaluran dana pemerintah pusat ke daerah. APBN belum efektif.Perkembangan dana-dana kesehatan yang tergolong desentralisasi yaitu DAK juga meningkat tajam. Akan tetapi, di DAK timbul berbagai permasalahan karena adanya pembatasan penggunaan fasilitas fisik dan peralatan. Ketidakcocokkan antara apa yang dibutuhkan daerah dengan spesifikasi pusat menjadi titik rawan DAK. Ada kemungkinan anggaran DAK menjadi bahan kolusi dalam pembelian peralatan dengan spesifikasi tertentu di pemerintah pusat.
2.4 Situasi Penganggaran Kesehatan di Daerah
Desentralisasi pada intinya bertujuan agar sektor kesehatan menjadi urusan rumah tangga daerah. Diharapkan terjadi ownership dan peningkatan APBD untuk kesehatan. Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan sebaiknya menganggarkan untuk kesehatan. Namun data dari Bappenas menunjukkan hal yang menarik. bahwa alokasi anggaran kesehatan oleh daerah menunjukkan hal yang random. Pengeluaran APBD tertinggi per kapita justru dilakukan oleh propinsi yang termasuk miskin yaitu Sulawesi Tenggara. Anggaran kesehatan perkapita di APBD propinsi ini melebihi anggaran propinsi kaya seperti Kalimantan Timur, Bali, dan Riau yang jumlah penduduknya juga kecil. Propinsi-propinsi besar di Jawa terlihat sangat kecil karena jumlah penduduknya sangat besar. Namun, Jawa Barat menunjukkan anggaran per kapita yang sangat rendah. Perbedaan anggaran per kapita ini tidak mempunyai pola yang jelas dan lebih bersifat random. Keadaan ini memperlihatkan kecilnya APBD untuk sektor kesehatan. tidak ada perbedaan pola APBD antara propinsi “kaya” (kapasitas fiskal tinggi) dengan propinsi “miskin” (kapasitas fiskal rendah). Sebagian besar dana untuk pelayanan kesehatan keluarga dibiayai oleh pemerintah pusat. Di propinsi kaya bahkan terjadi kesan penurunan. Pada tahun 2002-2004 terjadi kenaikan APBD untuk KIA, sementara itu pada tahun 2004-2006 terjadi penurunan. Logikanya, propinsi-propinsi yang tergolong “kaya” akan membelanjakan lebih untuk pelayanan kesehatan sebagai urusan rumah tangganya. 
2.5 Situasi Proses Alokasi Anggaran
Hal menarik terkait dengan desentralisasi fiskal di sektor kesehatan adalah mengenai teknik alokasi anggaran di Departemen Kesehatan. Penelitian Marhaeni9 menyebutkan bahwa selama ini alokasi anggaran pusat dilakukan atas dasar: 1) hystorical budget; 2) usulan yang disampaikan daerah; atau 3) perhitungan kebutuhan daerah menurut jumlah penduduk. Tahun 2006 belum ada kriteria yang jelas dalam menentukan alokasi anggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di berbagai program. Variabel yang diduga dominan adalah adanya political approach seperti negosiasi dan lobi. Pokok permasalahan yang ditemukan adalah bahwa Departemen Kesehatan belum mempunyai formulasi anggaran untuk alokasi dana dari pemerintah pusat dalam bentuk dana dekonsentrasi, tugas pembantuan dan dana sektoral. Keadaan ini dapat menimbulkan kemungkinan ketidakadilan dalam alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Dengan tidak adanya formulasi alokasi anggaran, maka ada kemungkinan proses penganggaran dana APBN dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan non-teknis. Dalam konteks titik kritis, pertimbangan non-teknis dapat mempengaruhi proses perencanaan. Dalam hal ini aspek politik mempunyai pengaruh besar. DPR mempunyai peran besar dalam penetapan pagu indikatif terutama dalam anggaran rumah sakit. Lebih lanjut, Marhaeni menyatakan bahwa alokasi anggaran untuk lima program pusat mempunyai variasi sebagai berikut. Program kesehatan ibu menggunakan proses penganggaran yang tidak ada hubungannya dengan indikator fiscal capacity, jumlah penduduk, penduduk miskin, luas wilayah, jumlah dokter, jumlah puskesmas, dan jumlah rumahsakit. Tidak ada perbedaan atau pembobotan untuk daerah dengan fiskal tinggi atau rendah. Tahun 2006 program kesehatan ibu belum mempunyai kriteria dalam alokasi anggaran Program TBC tidak mempunyai teknik untuk pembobotan daerah dengan fiscal capacity tinggi atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 berdasarkan hystorical budget. Alokasi anggaran juga dipengaruhi intervensi dari global fund. Program rumahsakit tidak melakukan pembobotan untuk daerah dengan fiskal tinggi atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 berdasarkan usulan daerah. Intervensi politis DPR besar pada saat penetapan pagu definitif. Terjadi perubahan anggaran sampai 95%. Program obat mempunyai indikator yang berpengaruh adalah jumlah penduduk miskin. Tidak ada perbedaan/pembobotan untuk daerah dengan fiskal tinggi atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 berdasarkan usulan daerah. Indikator yang berpengaruh dalam alokasi anggaran adalah jumlah penduduk miskin. Tidak ada perbedaan program gakin/pembobotan untuk daerah dengan fiskal tinggi atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 sudah berbasis formula yaitu berdasar jumlah penduduk miskin.
2.6  Peranan pemda dalam pendanaan kesehatan
Rendahnya pengeluaran kesehatan oleh APBD dan bertumpu pada APBN (dana dekonsentrasi) pada tahun 2004-2007 menunjukkan gejala tidak adanya ownership pemda tentang program kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah propinsi dan kabupaten (termasuk daerah yang kaya) merasa bahwa pelayanan kesehatan, terutama yang bersifat “public goods” seperti kesehatan keluarga, program TB, juga program-program seperti surveilans merupakan urusan pemerintah pusat. Dengan dana pemerintah pusat yang tinggi, daerah yang kaya tidak memberikan anggaran kesehatan. Akibatnya timbul semacam ketergantungan ke pemerintah pusat. Sebagaimana terlihat pada program KIA. Ada beberapa implikasi dari situasi ini, yaitu pertama, memperbesar kemungkinan tidak sinkronnya perencanaan pusat dan daerah. Jika dilihat, banyak daerah kaya yang tidak dapat menyerap anggaran pada tahun 2006. Salah satu problem penyerapan adalah bagaimana koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program dari dua sumber yang berbeda. Perbedaan ini termasuk timing perencanaan dan cara bekerjanya. Sebagai catatan pada tahun 2006 Pemda sudah menggunakan anggaran berbasis kinerja, sementara pemerintah pusat belum menggunakannya.
Kedua, masalah kelangsungan (sustainability) program, terutama kegiatan pemerintah pusat yang dibiayai oleh dana luar negeri. Dalam hal ini program yang rentan adalah pemberantasan penyakit menular, seperti program TB yang banyak didanai oleh Global Fund dan dana-dana asing. Pemerintah dan pemda yang mempunyai dana merasa tidak perlu untuk memberi dana bagi pelayanan kesehatan yang bersifat kesehatan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pelayanan kesehatan kuratif yang untuk masyarakat miskin. Berbagai daerah berusaha keras memberikan dana pendamping atau dana lebih baik untuk dana Askeskin pemerintah pusat.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah di daerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek softbudget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiscal di Indonesia masih mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal.Harus diakui bahwa dua kali perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia tidak dilakukan berdasarkan suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka panjang pengaturan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian aspirasi jangka pendek yang dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Perumusan kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu grand design yang menjadi cetak biru dari hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang seyogyanya dicapai dalam jangka panjang. Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari aturan perundang-undangan di Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan agar grand design ini dapat menjadi acuan bagi proses desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk hukum formal dari grand design ini diharapkan tidak lebih rendah dari Undang-undang. Lebih dari itu, perlu pula disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja menjadi acuan bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini pada hakekatnya harus menjadi acuan bagi beberapa Kementrian/Lembaga di Pemerintah Pusat, dan pada saat yang bersamaan menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah di Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya memuat grand design ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya dijadikan referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya. Konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai perspektif hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan dengan elaborasi singkat mengenai arah jangka panjang dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara lain.
3.2  Saran
1.    Pembiayaan kesehatan di era desentralisasi kesehatan masyarakat, masih perlu di tingkatkan.
2.    Khusus di daerah-daerah terpencil pembiayaan kesehatan harus lebih diperhatikan oleh pemerintah daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Afonso Antonio,et al.(2003),public sector Efficiency :An international Comparison,European central Bank Working Papers No.242.
Bahl, Roy,2000,how to design a fiscal decentralization dalam yusuf sahid,et,al(ed) local dynamic in an era of globalization,the world Bank,exford University Press.
Bird Richard & Francois vailancowt,(ed),(1998),fical Decentralization in developing Countries,Cambridge University,press.
Chu Ke-Young & Richard Hemming (ed),(1991).public Expenditure Handbook,A Guide to public policy issues in Developing Countries ,international Monetary fund,washigton D.C.
Gupta sanjeev,et al.(1997),The Efficiency of Government Expenditure :Expriences from Africa,IMF working paper
Loeher,William dan Rosano Manassan (2004). Fiscal decentralization and economic efficiency: Measurement and evaluation ,consulting,assiatance on economic reform II.File://G:\ Discussion % 20 on % efficiency\fiscal % 20 decentralization % 20 % 20 economic %.
Martinez-Vazquez,et al.(2001). Fiscal decentralization and economic growth,
Peterson E,George (2002),pakistan’s fiscal decentralization : issues and opportunities,world bank.
Smoke Paul,(2000), strategis fiscal decentralization in developing countries : learning from recent innovations,dalam yusuf sahid,et al (ad),local dynamics in an era of globalization the world bank,exford university press.
UNDP,(1999). Decentralization : A sampling of definition UNDP Working paper.






0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com