BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Desentralisasi
merupakan fenomena yang kompleks dan sulit didefinisikan secara tegas. Definisinya
bersifat kontekstual karena tergantung pada konteks historis, institusional
serta politis di masing-masing negara. Namun, secara umum desentralisasi dapat
didefinisikan sebagai pemindahan tanggung jawab dalam perencanaan, pengambilan
keputusan, pembangkitan serta pemanfaatan sumber daya dan kewenangan
administratif dari pemerintah pusat ke: 1) unit-unit teritorial dari pemerintah
pusat atau kementerian, 2) tingkat pemerintahan yang lebih rendah, 3)
organisasi semi otonom, 4) badan otoritas regional, 5) organisasi non
pemerintah atau organisasi yang bersifat sukarela (Rondinelli 1983 cit Omar,
2001). Mills, dkk menyebutkan bahwa secara umum desentralisasi merupakan
transfer kewenangan dan kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang tinggi ke
tingkat yang lebih rendah dalam satu hierarki politis administratif atau
teritorial.
Desentralisasi
kesehatan di Indonesia dilaksanakan sejak awal tahun 2001 dan merupakan
konsekuensi dari desentralisasi secara politik yang menjadi inti Undang-Undang
(UU) No.22/1999. Di berbagai negara, kebijakan tentang desentralisasi kesehatan
telah dilaksanakan selama dua dekade terakhir. Uganda, Filipina, dan Vietnam
adalah negara–negara lain yang telah lama melaksanakan desentralisasi.
Salah satu hal penting dalam desentralisasi
di Indonesia di tahun 1999 adalah desentralisasi fiskal. Secara teori,
desentralisasi fiskal adalah pemindahan kekuasaan untuk mengumpulkan dan
mengelola sumber daya finansial dan fiskal.6 Desentralisasi fiskal dapat
dijadikan sebagai indikator mengenai berjalannya kebijakan desentralisasi.
Sejarah telah mencatat bahwa pada akhir tahun 1970-an, Indonesia melakukan
desentralisasi di bidang kesehatan namun tidak disertai dengan desentralisasi
fiskal. Akibatnya tidak terjadi pemindahan wewenang dari pemerintah pusat ke
daerah. Bagian ini mengkaji apakah kebijakan desentralisasi fiskal berjalan,
dan berusaha memahami prospek pembangunan kesehatan dalam era desentralisasi.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pembiayaan kesehatan dalam era desentralisasi kesehatan masyarakat.
2. Untuk mengetahui reposisi
pembiayaan kesehatan dalam era desentralisasi.
3. Untuk mengetahui situasi
pendanaan, penganggaran, proses alokasi anggaran.
C. Manfaat Penulisan
Memberikan
informasi kepada pembaca tentang bagaimana pembiayaan kesehatan dalam era
desentralisasi kesehatan masyarakat.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Desentralisasi dan Kegagalan Menutup
Kesenjangan Fiskal
Salah satu hal
menarik sebagai dampak desentralisasi adalah perbedaan kemampuan fiskal yang
semakin besar antar propinsi dan kabupaten/kota. Dengan adanya dana bagi hasil
maka ada propinsi dan kabupaten/kota yang mendadak menjadi kaya dalam waktu
sekejap. Beberapa daerah mempunyai APBD sekitar 2 triliun rupiah dengan
penduduk yang tidak mencapai 500.000 orang. Namun yang menarik, di sektor
kesehatan setelah beberapa tahun kemudian terjadi situasi bahwa ada kekecewaan
secara nasional terhadap proses desentralisasi. Kekecewaan ini dapat dipahami
karena memang dana kesehatan dari DAU dan APBD ternyata jumlahnya tidak cukup
untuk membiayai pelayanan kesehatan. Keadaan ini juga terjadi di daerah kaya
yang sebenarnya harus memberikan lebih banyak untuk pelayanan kesehatan. Sektor
kesehatan kekurangan dana, sehingga menyebabkan berbagai sistem menjadi
terganggu dan kehilangan koordinasi dibandingkan sebelum desentralisasi.
Departemen Kesehatan melihat hal ini sebagai suatu hal yang membahayakan
kelangsungan sistem kesehatan. Dengan itikad baik, maka dilakukan peningkatan
pembiayaan dari pusat. Kesan yang mencolok terjadi peningkatan dana kesehatan
dari pemerintah pusat. Sebagai fakta, terjadi kenaikan dana dekonsentrasi dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sektor kesehatan. Dipandang dari jumlah, bagi
sektor kesehatan merupakan hal yang positif namun dari aspek penyaluran dan
ketepatan sasaran penganggaran masih memerlukan kajian lebih lanjut. Di samping
itu, ada hal yang perlu dicatat bahwa mekanisme dana dekonsentrasi menurut UU
No.33/2004 Pasal 108 haruslah dikurangi dan harus diubah menjadi DAK atau Dana
Tugas Pembantuan. Pada praktiknya memang penggunaan model dana dekonsentrasi
sebagai cara penyaluran ke daerah ini dapat berakibat negatif karena mempunyai
banyak kesulitan teknis dalam perencanaan dan penyerapan. Penyerapan dana
rendah pada tahun 2006 merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh
anggaran pemerintah pusat. Sementara itu, tahun 2007 terjadi apa yang disebut
sebagai masalah lainnya di anggaran pemerintah pusat akibat pemotongan berbagai
program pemerintah pusat. Keadaan ini terjadi pula di Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2008 yang sampai bulan April belum
ada kepastian. Masalah besar lain adalah kekurangan dana untuk pelayanan
keluarga miskin (gakin). Kasus belum dibayarnya Askeskin untuk rumah sakit
dalam tahun anggaran 2007 menunjukkan rendahnya kemampuan fiskal pemerintah
pusat yang tertekan oleh kenaikan harga minyak. Peningkatan dana dari
pemerintah pusat ini disertai dengan wewenang memutuskan untuk menggunakan dana
yang besar oleh pemerintah pusat. Wewenang ini semakin besar dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan atau
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat pada beberapa tahun belakangan ini.
Akibatnya terjadi suatu sentralisasi sistem kesehatan karena aspek keuangan.
mempengaruhi kegiatan di lapangan. Di samping kenyataan dalam pendanaan sektor
kesehatan, berbagai pernyataan pimpinan Departemen Kesehatan menyiratkan
keinginan untuk resentralisasi. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2004-2007
ini terjadi semacam kebingungan mengenai arah pengembangan sistem kesehatan di
Indonesia: apakah akan resentralisasi ataukah meneruskan desentralisasi. Secara
hukum sektor kesehatan merupakan sektor yang terdesentralisasi. Namun secara
praktis, mekanisme penyaluran anggaran kesehatan mengarah ke sentralisasi. Hal
ini merupakan paradoks yang perlu diperhatikan. Paradoks yang ada dapat
ditelusuri dari sejarah desentralisasi kesehatan di Indonesia. Pengalaman
Indonesia dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi kesehatan tahun 2000-2007
dapat direfleksikan sebagai berikut. Ada suatu proses yang berjalan secara
mendadak (Big Bang) pada tahun 1999 seperti yang sudah disampaikan pada
pengantar buku ini. Kebijakan yang mendadak tanpa diikuti oleh peraturan teknis
yang baik.
2.2
Reposisi Peran Pemerintah Pusat dalam Hal Pembiayaan Kesehatan
Salah satu hal
penting yang menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat dalam menerapkan
desentralisasi adalah dalam pembiayaan kesehatan. Reposisi pemerintah pusat
dalam hal pembiayaan pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu
indikator kesungguhan pemerintah pusat dalam menerapkan desentralisasi. Dalam
draf dokumen dari Departemen Kesehatan dinyatakan bahwa masih banyak masalah
dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Masalah pertama adalah belum
sinkronnya antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta pelaksanaan.
Dalam hubungannya dengan sektor lain terdapat lemahnya sinergisme dalam
penyusunan kegiatan lintas program. Di samping itu, ada penggunaan indikator
yang tidak konsisten. Dalam konteks desentralisasi, terdapat gejala belum
sinkronnya perencanaan pusat dan daerah. Di dalam lingkup proses perencanaan
disadari kesulitan untuk merubah mindset dari ”project oriented” atau
”budget oriented” kepada ”performance based-budgeting”. Faktor
lain adalah terbatasnya SDM yang dapat menunjang upaya perencanaan pembangunan
kesehatan, serta tidak lancarnya pelaporan kegiatan dan pengembangan yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu perencanaan pembangunan kesehatan.
Dalam konteks
permasalahan-permasalahan tersebut, menarik untuk dicermati berbagai fakta yang
terjadi antara lain perkembangan anggaran kesehatan oleh pemerintah pusat dan
perkembangan anggaran kesehatan oleh daerah. Data yang dipergunakan dalam
deskripsi ini adalah anggaran kesehatan nasional (pemerintah) dari sebelum
desentralisasi sampai setelah desentralisasi, dengan penekanan detail data
mulai tahun 1999-2007. Data yang digunakan merupakan kompilasi dari beberapa
data anggaran kesehatan APBN-Departemen Kesehatan, World Bank, World
Health Organization atau WHO dan beberapa penelitian yang dilakukan oleh
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada/PMPK
FK-UGM (National Health Account, dan Public Health Expenditure Review,
bekerja sama dengan WHO Indonesia dan IPS Srilanka). Di samping itu, ada data
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dari proyek DHS-1.
2.3 Situasi Pendanaan dari Pemerintah
Pusat
Pada awal
desentralisasi, terlihat kecenderungan desentralisasi yang sangat kuat. Penurunan
anggaran pemerintah pusat sementara anggaran pemerintah propinsi dan kabupaten
meningkat. Pada tahun-tahun awal memang terjadi realokasi yaitu ada dana
pemerintah pusat menjadi APBD yang tentunya meningkatkan jumlah anggaran
kesehatan secara absolut. Akan tetapi, DAU dan dana-dana dari APBD ternyata
tidak cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan. Keadaan ini menyebabkan sistem
kesehatan menjadi sulit digerakkan. Pemda terlihat gagal memberikan pendanaan
untuk sektor kesehatan di daerahnya. Pada tahun 2004 ke depan, Departemen
Kesehatan melihat perlu ada pendanaan lebih banyak dari pemerintah pusat.
Keputusan ini menarik dan dapat dipahami karena memang diperlukan untuk
memperbaiki sistem kesehatan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya dana
pemerintah pusat, khususnya untuk Askeskin dan kesehatan keluarga. Sejak tahun
2004 terjadi peningkatan dana kesehatan dari pemerintah pusat. Sebagian dana
pemerintah pusat disalurkan ke pemda melalui dana dekonsentrasi. Pada
praktiknya penggunaan model dana dekonsentrasi sebagai cara penyaluran ke
daerah dapat berakibat negatif. Ada kesulitan untuk mencapai sasaran yang
direncanakan. Berdasarkan mekanisme, dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat
sampai ke propinsi. Dari level propinsi, dana akan diteruskan ke kabupaten/kota
atau ke kegiatan-kegiatan. Penyaluran ini sering mempunyai masalah antara lain:
sempitnya waktu untuk membelanjakan dan melaporkan, kekurangsiapan Pemegang Uang
Muka Cabang (PUMC), dan berbagai sebab lain, akibatnya terjadi penyerapan dana
yang rendah.
Penyerapan
dana rendah pada tahun 2006 merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi
oleh anggaran pemerintah pusat. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan
terlihat bahwa tidak ada yang dapat menyerap dana lebih dari 95%. Propinsi
Irian Jaya Barat hanya bisa menyerap sebesar 46,3%. Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta sebagai daerah yang berada di pemerintah pusat hanya menyerap 52,5%.
Kalimantan Timur menyerap 62,4%. Sulawesi Utara menyerap paling tinggi sebesar
94,8%, disusul oleh Jawa Timur sebesar 91,9%. Sementara itu, tahun 2007 terjadi
apa yang disebut sebagai masalah besar anggaran pemerintah pusat akibat
pemotongan berbagai program pemerintah pusat. Pemotongan ini disebabkan
berbagai faktor yang kompleks. Salah satu masalah besar adalah kekurangan dana
untuk pelayanan gakin. Dikhawatirkan penyerapan anggaran kesehatan pemerintah
pusat masih belum membaik. Problem di tahun 2007 terulang di tahun 2008. Akibat
tekanan harga minyak, pemerintah pusat kesulitan untuk merealisasikan APBN.
Sampai pada bulan April 2008 terjadi stagnasi mekanisme penyaluran dana
pemerintah pusat ke daerah. APBN belum efektif.Perkembangan dana-dana kesehatan
yang tergolong desentralisasi yaitu DAK juga meningkat tajam. Akan tetapi, di
DAK timbul berbagai permasalahan karena adanya pembatasan penggunaan fasilitas
fisik dan peralatan. Ketidakcocokkan antara apa yang dibutuhkan daerah dengan
spesifikasi pusat menjadi titik rawan DAK. Ada kemungkinan anggaran DAK menjadi
bahan kolusi dalam pembelian peralatan dengan spesifikasi tertentu di
pemerintah pusat.
2.4 Situasi Penganggaran Kesehatan di
Daerah
Desentralisasi
pada intinya bertujuan agar sektor kesehatan menjadi urusan rumah tangga
daerah. Diharapkan terjadi ownership dan peningkatan APBD untuk kesehatan.
Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan sebaiknya menganggarkan untuk
kesehatan. Namun data dari Bappenas menunjukkan hal yang menarik. bahwa alokasi
anggaran kesehatan oleh daerah menunjukkan hal yang random. Pengeluaran
APBD tertinggi per kapita justru dilakukan oleh propinsi yang termasuk miskin
yaitu Sulawesi Tenggara. Anggaran kesehatan perkapita di APBD propinsi ini
melebihi anggaran propinsi kaya seperti Kalimantan Timur, Bali, dan Riau yang
jumlah penduduknya juga kecil. Propinsi-propinsi besar di Jawa terlihat sangat
kecil karena jumlah penduduknya sangat besar. Namun, Jawa Barat menunjukkan
anggaran per kapita yang sangat rendah. Perbedaan anggaran per kapita ini tidak
mempunyai pola yang jelas dan lebih bersifat random. Keadaan ini
memperlihatkan kecilnya APBD untuk sektor kesehatan. tidak ada perbedaan pola APBD antara propinsi “kaya”
(kapasitas fiskal tinggi) dengan propinsi “miskin” (kapasitas fiskal rendah).
Sebagian besar dana untuk pelayanan kesehatan keluarga dibiayai oleh pemerintah
pusat. Di propinsi kaya bahkan terjadi kesan penurunan. Pada tahun 2002-2004
terjadi kenaikan APBD untuk KIA, sementara itu pada tahun 2004-2006 terjadi
penurunan. Logikanya, propinsi-propinsi yang tergolong “kaya” akan
membelanjakan lebih untuk pelayanan kesehatan sebagai urusan rumah
tangganya.
2.5 Situasi Proses Alokasi Anggaran
Hal menarik
terkait dengan desentralisasi fiskal di sektor kesehatan adalah mengenai teknik
alokasi anggaran di Departemen Kesehatan. Penelitian Marhaeni9 menyebutkan
bahwa selama ini alokasi anggaran pusat dilakukan atas dasar: 1) hystorical
budget; 2) usulan yang disampaikan daerah; atau 3) perhitungan kebutuhan
daerah menurut jumlah penduduk. Tahun 2006 belum ada kriteria yang jelas dalam
menentukan alokasi anggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di berbagai
program. Variabel yang diduga dominan adalah adanya political approach seperti
negosiasi dan lobi. Pokok permasalahan yang ditemukan adalah bahwa Departemen
Kesehatan belum mempunyai formulasi anggaran untuk alokasi dana dari pemerintah
pusat dalam bentuk dana dekonsentrasi, tugas pembantuan dan dana sektoral.
Keadaan ini dapat menimbulkan kemungkinan ketidakadilan dalam alokasi anggaran
dari pemerintah pusat. Dengan tidak adanya formulasi alokasi anggaran, maka ada
kemungkinan proses penganggaran dana APBN dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan
non-teknis. Dalam konteks titik kritis, pertimbangan non-teknis dapat
mempengaruhi proses perencanaan. Dalam hal ini aspek politik mempunyai pengaruh
besar. DPR mempunyai peran besar dalam penetapan pagu indikatif terutama dalam
anggaran rumah sakit. Lebih lanjut, Marhaeni menyatakan bahwa alokasi anggaran
untuk lima program pusat mempunyai variasi sebagai berikut. Program kesehatan
ibu menggunakan proses penganggaran yang tidak ada hubungannya dengan indikator
fiscal capacity, jumlah penduduk, penduduk miskin, luas wilayah, jumlah
dokter, jumlah puskesmas, dan jumlah rumahsakit. Tidak ada perbedaan atau
pembobotan untuk daerah dengan fiskal tinggi atau rendah. Tahun 2006 program
kesehatan ibu belum mempunyai kriteria dalam alokasi anggaran Program TBC tidak
mempunyai teknik untuk pembobotan daerah dengan fiscal capacity tinggi
atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 berdasarkan hystorical budget. Alokasi
anggaran juga dipengaruhi intervensi dari global fund. Program
rumahsakit tidak melakukan pembobotan untuk daerah dengan fiskal tinggi atau
rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 berdasarkan usulan daerah. Intervensi
politis DPR besar pada saat penetapan pagu definitif. Terjadi perubahan
anggaran sampai 95%. Program obat mempunyai indikator yang berpengaruh adalah
jumlah penduduk miskin. Tidak ada perbedaan/pembobotan untuk daerah dengan
fiskal tinggi atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 berdasarkan usulan
daerah. Indikator yang berpengaruh dalam alokasi anggaran adalah jumlah
penduduk miskin. Tidak ada perbedaan program gakin/pembobotan untuk daerah
dengan fiskal tinggi atau rendah. Alokasi anggaran tahun 2006 sudah berbasis
formula yaitu berdasar jumlah penduduk miskin.
2.6
Peranan pemda dalam pendanaan kesehatan
Rendahnya
pengeluaran kesehatan oleh APBD dan bertumpu pada APBN (dana dekonsentrasi)
pada tahun 2004-2007 menunjukkan gejala tidak adanya ownership pemda
tentang program kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah propinsi dan
kabupaten (termasuk daerah yang kaya) merasa bahwa pelayanan kesehatan,
terutama yang bersifat “public goods” seperti kesehatan keluarga,
program TB, juga program-program seperti surveilans merupakan urusan
pemerintah pusat. Dengan dana pemerintah pusat yang tinggi, daerah yang kaya
tidak memberikan anggaran kesehatan. Akibatnya timbul semacam ketergantungan ke
pemerintah pusat. Sebagaimana terlihat pada program KIA. Ada beberapa implikasi
dari situasi ini, yaitu pertama, memperbesar kemungkinan tidak sinkronnya
perencanaan pusat dan daerah. Jika dilihat, banyak daerah kaya yang tidak dapat
menyerap anggaran pada tahun 2006. Salah satu problem penyerapan adalah
bagaimana koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program dari dua sumber yang
berbeda. Perbedaan ini termasuk timing perencanaan dan cara bekerjanya.
Sebagai catatan pada tahun 2006 Pemda sudah menggunakan anggaran berbasis
kinerja, sementara pemerintah pusat belum menggunakannya.
Kedua, masalah kelangsungan (sustainability)
program, terutama kegiatan pemerintah pusat yang dibiayai oleh dana luar
negeri. Dalam hal ini program yang rentan adalah pemberantasan penyakit
menular, seperti program TB yang banyak didanai oleh Global Fund dan
dana-dana asing. Pemerintah dan pemda yang mempunyai dana merasa tidak perlu
untuk memberi dana bagi pelayanan kesehatan yang bersifat kesehatan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan pelayanan kesehatan kuratif yang untuk masyarakat
miskin. Berbagai daerah berusaha keras memberikan dana pendamping atau dana
lebih baik untuk dana Askeskin pemerintah pusat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Desentralisasi
fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah
pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25
tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU)
sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah di daerahkan,
Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah
yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada
pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang
dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh
pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah
daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar
basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari
pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber
DAU. Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan
dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek softbudget
constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya
reformasi pajak daerah. Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan
kebijakan, desentralisasi fiscal di Indonesia masih mempunyai berbagai
kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya.
Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu sama lain, masih terdapat
perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam
pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi
kebijakan di daerah.
Hal
ini disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal
di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand
design desentralisasi fiskal.Harus diakui bahwa dua kali perumusan
kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia tidak dilakukan berdasarkan
suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka panjang
pengaturan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Perumusan kebijakan
desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian aspirasi jangka pendek yang
dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Perumusan
kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya. Perumusan
kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu grand
design yang menjadi cetak biru dari hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang seyogyanya dicapai dalam
jangka panjang. Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian
dari aturan perundang-undangan di Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan
agar grand design ini dapat menjadi acuan bagi proses
desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk hukum formal dari grand design ini
diharapkan tidak lebih rendah dari Undang-undang. Lebih dari itu, perlu pula
disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja menjadi acuan
bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini pada
hakekatnya harus menjadi acuan bagi beberapa Kementrian/Lembaga di Pemerintah
Pusat, dan pada saat yang bersamaan menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah di
Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya memuat grand design
ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya dijadikan
referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya. Konsep Grand Design
Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai perspektif hubungan keuangan
pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan dengan elaborasi singkat mengenai
arah jangka panjang dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara lain.
3.2 Saran
1. Pembiayaan
kesehatan di era desentralisasi kesehatan masyarakat, masih perlu di tingkatkan.
2. Khusus
di daerah-daerah terpencil pembiayaan kesehatan harus lebih diperhatikan oleh
pemerintah daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Afonso Antonio,et al.(2003),public sector
Efficiency :An international Comparison,European central Bank
Working Papers No.242.
Bahl, Roy,2000,how to design a fiscal decentralization
dalam yusuf sahid,et,al(ed) local dynamic in an era of globalization,the
world Bank,exford University Press.
Bird Richard & Francois vailancowt,(ed),(1998),fical
Decentralization in developing Countries,Cambridge University,press.
Chu Ke-Young & Richard Hemming
(ed),(1991).public Expenditure Handbook,A Guide to public policy issues in
Developing Countries ,international Monetary fund,washigton D.C.
Gupta sanjeev,et al.(1997),The Efficiency
of Government Expenditure :Expriences from Africa,IMF working paper
Loeher,William dan Rosano Manassan (2004).
Fiscal decentralization and economic efficiency: Measurement and evaluation
,consulting,assiatance on economic reform II.File://G:\ Discussion % 20 on % efficiency\fiscal
% 20 decentralization % 20 % 20 economic %.
Martinez-Vazquez,et al.(2001). Fiscal
decentralization and economic growth,
Peterson E,George (2002),pakistan’s fiscal
decentralization : issues and opportunities,world bank.
Smoke Paul,(2000), strategis fiscal
decentralization in developing countries : learning from recent
innovations,dalam yusuf sahid,et al (ad),local dynamics in an era of
globalization the world bank,exford university press.
UNDP,(1999). Decentralization : A
sampling of definition UNDP Working paper.

0 komentar:
Posting Komentar