Puasa Asyura dan
Bulan Muharram
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ
الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ
بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّابَعْدُ؛
فَإِنْ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ
الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ
ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Kaum
muslimin Jamaah Jumat yang berbahagia
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di-antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu” (QS. At Taubah :36)
Adapun maksud dari firman Allah I “Janganlah
kamu menganiaya diri kamu” yakni, pada bulan-bulan haram karena kesalahan atau
dosa yang dikerjakan waktu itu lebih besar dibandingkan dengan kesalahan atau
dosa yang dikerjakan pada bulan-bulan selainnya. Berkata Qatadah رحمه الله
: “Sesungguhnya kezholiman yang dikerjakan pada bulan-bulan haram lebih
besar dosanya dibandingkan jika dikerjakan di luar bulan-bulan haram, walaupun
sebenarnya kezho-liman di dalam segala hal dan keadaan meru-pakan dosa besar
akan tetapi Allah I senan-tiasa
mengagungkan dan memuliakan bebera-pa perkara/ urusan menurut kehendakNya”. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir surat
At Taubah: 36).
Diriwayatkan dari Abu Bakrah t, Nabi r bersabda :
)...السَّــنَةُ اثْــنَا عَشَرَ شَـهْرًا
مِنْـهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَــاتٌ ذُو الْـقَعْدَةِ وَذُو
الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَـيْنَ جُمَادَى وَشَعْـبَانَ( رواه
البخاري
“…Setahun terdiri dari dua belas bulan di da-lamnya terdapat
empat bulan haram, tiga dianta-ranya berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram dan keempat adalah Rajab yang
diantarai oleh Jumadil (awal dan tsani) dan Sya’ban” (HR. Bukhari)
Dinamakan
Muharram karena tergolong bulan haram dan sebagai penekanan akan ke-haramannya.
Keutamaan Memperbanyak Puasa Sunnah Pada Bulan Muharram :
Dari Abu Hurairah t ia telah berkata, Rasulullah bersabda :
)أَفْضَلُ الصّـِيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ
شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ ( رواه
مسلم
“Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram” (HR. Muslim).
Lafadz "شهر
الله" (Bulan Allah), penyandaran
“Bulan” kepada “Allah” dimaksudkan sebagai bentuk pengagungan-Nya kepada bulan
terse-but. Imam Alqari رحمه الله berkata: “Nampak-nya maksud dari hadits
tersebut adalah ber-puasa pada seluruh bulan Muharram”.
Akan
tetapi telah diriwayatkan, bahwasa-nya Nabi r tidaklah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan saja, jadi
hadits ini hanya menunjukkan keutamaan memper-banyak puasa pada bulan Muharram,
bukan berpuasa dengan sebulan penuh.
Dan telah diriwayatkan juga bahwa Nabi r senantiasa
memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin dikarenakan belum
turunnya wahyu kepada beliau yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Muharram
kecuali pada akhir hayatnya sebe-lum beliau sempat berpuasa pada bulan
tersebut. (Lihat Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi)
Sejarah ‘Asyura :
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما
telah berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ r
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ
تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ : )مَا هَذَا ؟(
قَالُوا : "هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى" قَالَ )
فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْـكُمْ(
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ رواه
البخاري
“Setelah
Nabi r tiba di Madinah, beliau melihat
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, beliau bekata: “apakah ini?”,
mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik dimana Allah menyelamatkan bani
Israil dari musuh-musuhnya hingga Musa berpuasa pada hari itu”, selanjut-nya
beliau berkata: “Saya lebih berhak atas Musa dari kalian”, maka beliau
berpuasa dan memerin-tahkan shahabatnya untuk berpuasa pada hari itu (HR.
Bukhari).
Sebenarnya puasa ‘Asyura telah dikenal
pada zaman jahiliyah sebelum datangnya zaman nubuwwah, dari Aisyah رضي الله عنها
ia telah berkata:
)
أَنَّ قُرَيــْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ (
رواه البخاري
“Sesungguhnya orang-orang
jahiliyah juga ber-puasa pada hari itu…”. (HR. Bukhari)
Imam Qurthubi رحمه الله
berkata: “Mungkin orang-orang Quraisy waktu itu masih berpegang dengan syariat
sebelumnya seperti syariat Nabi Ibrahim u, dan juga
telah diriwayatkan bahwa Nabi r berpuasa
‘Asyura di Makkah sebelum hijrah ke Madinah dan setibanya di Madinah beliau
kemudian menemukan orang-orang Yahudi merayakan hari itu, maka Nabi menanyakan
hal tersebut dan mereka berkata sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits
yang lalu, lalu beliau memerintahkan sahabatnya untuk me-nyelisihi kebiasaan
mereka yang menjadikan ‘Asyura sebagai hari raya, sebagaimana yang disebutkan
di dalam hadits Abu Musa t :
كَانَ يَوْمُ
عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَ تَـتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r
)
صُومُوهُ أَنْـتُمْ ( رواه مسلم
“‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
mereka menganggapnya sebagai hari raya” Maka Nabi r
bersabda: “Berpuasalah kalian pada hari itu” (HR. Muslim).
Keutamaan Puasa ‘Asyura :
Dari
Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
)
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ r
يَـتَحَرَّى صِيَامَ يـَوْمٍ فَضَّــلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيـَـوْمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّـهْرَ يَعْنِي شَـهْرَ رَمَضَانَ(
رواه البخاري
“Saya tidak melihat Nabi r
memperhatikan satu hari untuk berpuasa yang beliau utamakan dari selainnya,
kecuali pada hari ini yakni hari ‘Asyura dan bulan ini yakni bulan Ramadhan”
(HR. Bukhari).
Dari Abu Qadah
t, Nabi r bersabda:
)
صِيَامُ يـَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّــنَةَ الَّتِي قَــبْلَهُ (
رواه الترمذي
“Puasa hari ‘Asyura, Aku berharap kepada Allah untuk menghapus
dosa pada satu tahun sebelumnya.” (HR. Tirmidzi)
Hal ini sangat jelas merupakan keutama-an
Allah bagi kita yang menghapus dosa setahun hanya dengan berpuasa sehari saja,
sesungguhnya Allahlah Pemilik keutamaan yang agung.
Apakah Hari ‘Asyura Itu?! :
Imam Nawawi رحمه الله
berkata: ‘Asyura dan tasu’a adalah dua nama yang sudah masyhur (terkenal) di
dalam buku-buku bahasa (arab), ‘ulama mazhab kami berkata: ‘Asyura adalah hari
kesepuluh pada bulan Muharram dan Tasu’a adalah hari kesembilan pada bulan
tersebut….. sebagaimana menurut pendapat kebanyakan ‘ulama…penamaan itu dapat
diketahui berdasarkan lafazhnya dan keumuman hadits- haditsnya, dan pendapat
inilah yang terkenal dikalangan ahli bahasa".
Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: ‘Asyura adalah hari kesepuluh pada
bulan Muharram, ini adalah pendapat Sa’id bin Al Musayyab dan Al Hasan, hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya ia telah
berkata:
)
أَمَرَ رَسُولُ اللهِ r
بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ (
رواه الترمذي
“Rasulullah r memerintahkan
berpuasa pada hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh (dari bulan Muharram)”.(HHR.
Tirmidzi).
Disunnahkan Berpuasa Tasu’a Sebelum ‘Asyura :
Dari
Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ r
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا :"يـَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالـنَّصَارَى" فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ r
)
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ
التَّاسِعَ (
قَالَ "فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ r
" رواه مسلم
“Ketika
Rasulullah r berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah
sesungguhnya ‘Asyura adalah hari yang diagung-kan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani, maka Rasulullah r bersabda: “Pada
tahun mendatang Insya Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan”
dia (Ibnu Abbas) berkata: “akan tetapi beliau
r telah wafat sebelum tahun depan”
(HR. Muslim).
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak dan lainnya
berkata : Disunnahkannya berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh, karena
Nabi
r berpuasa pada
hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Maka dari itu puasa ‘Asyura
bertingkat-tingkat : (pertama): hanya berpuasa pada hari kesepuluhnya saja,
(kedua): berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dan (ketiga) dengan
memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Hikmah
Disunnahkannya Puasa Tasu’a :
Imam
Nawawi
رحمه الله
berkata: “Sebagi-an ‘ulama dari shahabat kami dan lainnya menyebutkan
beberapa pendapat tentang hikmah disunnahkannya puasa Tasu’a, dian-taranya
adalah Untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh”.
Dosa Apakah Yang Dihapus Pada Puasa ‘Asyura :
Imam Nawawi رحمه الله
berkata: “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak termasuk dosa
besar”, (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa hari
Arafah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله
berkata: “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan, puasa hari Arafah dan ‘Asyura
hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al Fatawa Al Kubra juz 5).
Bid’ah – Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul Islam رحمه الله pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian
orang pada hari ‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan
dengan daun pacar, saling berjabat tangan, mema-sak kacang-kacangan,
menampakkan pera-saan gembira, dan lain sebagainya..apakah kebiasaan-kebiasaan
ini memiliki dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau menjawab : ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,
sesungguhnya hal yang demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam
hadits-hadits nabi yang shohih dan juga tidak pernah dinukil dari para shahabat
juga tabi’in, dan para ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak
mengangapnya sebagai sesuatu yang baik, dan tidak ada satu hadits pun baik yang
shohih atau yang lemah berbicara me-ngenai hal itu, akan tetapi sebagian orang
belakangan meriwayatkannya dari beberapa hadits seperti hadits yang berbunyi: “Barang
siapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana
pada tahun itu” dan semisalnya. Telah diriwayat-kan di dalam hadits maudhu
(palsu) lagi dusta yang disandarkan kepada Nabi r : “Barang
siapa yang melapangkan keluarga-nya (dalam nafkah belanja dsb) pada hari
‘Asyura maka Allah akan meluaskan baginya sepanjang tahun”. Riwayat-riwayat
seperti ini adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi r.
Kemudian beliau رحمه الله menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada
umat terdahulu berupa fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan
Husain t serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah kejadian-kejadian
itu, kemu-dian selanjutnya beliau berkata: “Maka fir-qah tersebut menjadi sesat
dan zholim, di-antara mereka ada yang kufur, munafik dan ada yang termasuk
orang yang disesatkan.
Di antara penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau
(Husain) dan Ahlul Bait secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari
berduka cita dan meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan jahiliyah
seperti menampar pipi, merobek-robek pakaian, saling memanggil dengan panggilan
jahiliyah dan memperdengarkan syair-syair yang menyedihkan, padahal
berita-berita tersebut kebanyakan dusta sehingga apa yang mereka perbuat hanya
menambah dan melahirkan kesedihan, sikap fanatik, menyulut api peperangan dan
me-nyebarnya fitnah diantara kaum muslimin serta merendahkan generasi
terdahulu…. sehingga keburukan dan bahaya mereka sampai-sampai tidak lagi dapat
dihitung dan disebutkan oleh orang yang fasih.
Karena itu muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang
sebagian mereka adalah orang-orang
fanatik terhadap Husein t dan keluarganya sedangkan lainnya ada-lah orang-orang jahil yang
membalas keru-sakan dengan kerusakan, dusta dengan dusta, kejelekan dengan
kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak memalsukan riwayat-riwayat
sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari ‘Asyura seperti mema-kai
celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada keluarganya, memasak ma-kanan
yang istimewa dan lainnya seba-gaimana yang dilakukan pada hari raya. Mereka
menjadikan Hari ‘Asyura sebagai suatu musim seperti layaknya hari raya dan
waktu bersedih dan bergembira. Kedua kelompok tersebut menyimpang dan keluar
dari sunnah…(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al Hajjajرحمه الله menyebutkan bahwa diantara bid’ah ‘Asyura
adalah menye-ngaja untuk mengeluarkan zakat, sama saja jika mengeluarkannya di
awal atau diakhir waktu, mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai
daun pacar bagi wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ
الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ. وَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ


0 komentar:
Posting Komentar